Suatu hari, di tahun 1932 seorang opsir Belanda yang baru berpatroli ke desa-desa melaporkan kepada atasannya: Orang Aceh aneh sekali, ikat kaki naik kelapa . Sang atasannya, Van Gleniehuzt, yang didampingi staf pribumi dan dua uleebalang meminta si opsir mengulangi ucapannya. Lalu opsir yang melihat kejadian di kawasan Lapang, Lhoksukon tersebut mengulang laporannya ikhwal ada orang Aceh memanjat kelapa dengan kaki terikat. Ini benar-benar terjadi Tuan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, katanya.
Ikat kaki yang dimaksud si opsir itu tak lain dari Seuneungkreut, yaitu tali yang dipasang antara dua kaki si pemanjat kelapa. Dengan tali itu dia melesat di batang dan dengan mudah memetik buah kepala. Bagi si opsir itu adalah pemandangan aneh. Dengan kaki terikat saja orang Aceh begitu lancar memanjat kelapa, apalagi dengan kaki bebas ikatan. Dia pun terpikir, jika nanti ada tawanan,
jangan sekali-sekali kakinya diikat karena akan lebih memudahkan tawanan itu kabur. Lebih baik dicari cara lain, misalnya dengan mengurungnya di kerangkeng.
jangan sekali-sekali kakinya diikat karena akan lebih memudahkan tawanan itu kabur. Lebih baik dicari cara lain, misalnya dengan mengurungnya di kerangkeng.
Bagi yang mengerti apa fungsi tali yang ada di kaki pemanjat kepala, takkan seperti opsir Belanda. Bagi yang baru melihat, tali itu disangkanya sebagai ikatan yang dapat menghambat seseorang untuk bergerak. Dengan hambatan kaki yang terikat saja orang Aceh bisa memanjat kelapa, apalagi kalau tanpa ikatan, pikir sang opsir. Dari kejauhan dia hanya melihat tali, tidak mendekat dan memperhatikan detail tali tersebut. Dia hanya melihat ujudnya, tidak melihat fungsi dan subtansinya, sehingga dia memandangnya sebagai sebuah keanehan.
Aceh memang aneh. Ketika daerah-daerah lain telah dikuasai Belanda, Aceh masih belum tersentuh. Belanda harus menggelar peperangan dahsyat untuk menaklukkan Aceh. Sultan Aceh Muhammad Daudsyah baru berhasil ditangkap pada 1904, yang kemudian dibuang ke Pidie. Padahal pada saat itu wilayah lain di nusantara telah ratusan tahun takluk. Meskipun Sultan tertangkap, tapi kepemimpinan Aceh secara de facto masih ada, karena secara lokal ada yang mengambil alih kepemimpinan perlawanan. Meskipun Belanda mengklaim bahwa Aceh berakhir 1904 dengan tertangkapnya Sultan, tetapi dalam versi sejarah yang lain, Aceh baru dikuasi sepenuhnya pada pada 1912.
Aceh memang aneh. Meskipun Sultan telah ditangkap, tetapi seorang pemuda Takengon, Aman Nyerang, tak mau mengakuinya. Dia yang masuk hutan dua tahun sebelum Sultan ditangkap masih terus melakukan perjuangan, hingga dua puluh tahun kemudian, sampai dia ditangkap di kawasan Lukop. Bukan hanya Ama Nyerang, para ulama yang bergabung dalam Muslimin terus melakukan serangan-serangan sporadis terhadap kedudukan dan patroli Belanda.
Malah ada orang Aceh yang menyerang secara nekad terhadap konvoi Belanda, yang tentu saja dia sendiri kemudian mati terbunuh. Fenomena ini baru berakhir sekitar tahun 1938. Serangan bunuh diri ini yang membuat Belanda tak habis pikir. Aceh memang aneh. Acehmorden, kata mereka. Aceh pungo!
Doktrin bahwa mati syahid akan menjadi said begitu tertanam dalam jiwa masyarakat Aceh. Maka meski tahu akan mati tapi dia tetap menyerang Belanda. Konon kabarnya, ketika Belanda membumi-hanguskan Pangkalan Brandan pada tahun 1948, banyak orang Aceh yang datang ke sana meski pertempuran telah usai dan yang tersisa hanya kobaran api. Tapi untuk mendapatkan ainul mardhiah– bidadari di surga–orang- orang kita meloncat ke dalam api. Dan syahidlah mereka. Dalam kasus lain, kecuali membunuh dan menyerang Belanda, orang-orang Aceh juga mencincang dengan parangnya bekas tapak sepatu serdadu Belanda di jalan becek sebagai manifestasi dendam dan amarahnya. Bayangkan!
Banyak yang aneh-aneh berlaku di Aceh dari dulu hingga kini. Pamudya Anta Toer, sastrawan terkemuka Indonesia mencatat sebuah peristiwa di Blangkeujren, masa penjajahan Belanda. Ketika orang-orang pribumi kehabisan akal bagaimana cara membunuh Belanda, maka dikirimlah seorang gadis ke wilayah yang sedang diserang penayakit cacar. Setelah memastikan telah tertular, sang gadis dikirim ke tangsi Belanda di Balangkeujren agar cacar yang mamatikan itu tertular pula kepada para serdadu. Dan benar, tentara Belanda yang telah lama haus di tangsi bergiliran meniduri gadis kiriman itu. Mereka pun mulai diserang demam yang diikuti bintik-bintik merah di tubuhnya. Seminggu kemudian, puluhan serdadu tewas di mangsa malaria. Si gadis yang diumpan itu lebih duluan meninggal. Nggak apa-apa, yang penting kafir sudah mati.
Dalam salah satu triloginya, Bumi Manusia, Pramudya juga bercerita tentang keanehan alat musik pukul Aceh bernama rapai (yang dimaksud di sini adalah rapai pase). Katanya, rapai dan gamelan di Jawa, sama-sama alat musik pukul. Bedanya, gamelan baru berbunyi kalau dimainkan secara kelompok atau beramai-ramai. Sedangkan rapai, satu buah pun akan berbunyi. Artinya, orang Aceh bisa berjuang walau sendiri, sedangkan orang Jawa tidak. Banyak penyerangan sporadis yang dilakukan oleh orang Aceh terhadap musuh. Sedangkan Belanda -atau siapa pun yang memadamkan pemberontakan di Aceh— datang dengan pasukan besar. Sepanjang sejarah perang di Aceh mulai zaman Belanda sampai di penggalan terakhir, banyak kasus seperti itu; menyerang sendiri meskipun kemudian mati. Rapai bisa berbunyi sendiri mulai senja sampai pagi, meskipun kemudian kulit permukaannya sobek, atau tangan penabuhnya bengkak dan berdarah.
Keanehan -kalau bisa disebut begitu- yang terlihat pada perilaku dan watak orang Aceh tak lepas dari masa lalunya. Mulai dari terbentuknya komunitas yang hari ini dinamakan orang Aceh, sampai dengan dinamika kuat dalam setiap pergolakan. Orang Aceh berperang karena membela agama, harta, dan keluarga atau marwahnya. Sedangkan dalam konsep Barat, berperang karena membela negara dan raja.
Belanda datang ke Aceh karena perintah rajanya yaitu Ratu Wilhelmina, sehingga mereka berperang membasmi pemberontak yang melawan missi raja. Ini disambut oleh orang-orang Aceh yang menganggap Belanda adalah kafir sebagai musuh agama. Akhirnya taktik dan strategi yang dipakai Belanda dalam menaklukkan wilayah lain -yang penduduknya hanya membela negara– tidak ampuh bagi orang-orang yang mempertahankan agama, harta dan marwah. Maka sejarawan Belanda menyebut Perang Aceh adalah perang yang amat melelahkan.
Dalam politik kontemporer, sikap masyarakat Aceh menolak Golkar bisa dijadikan amsal ikhwal kenanehan tadi. Ketika daerah-daerah lain menerima Golkar, Aceh menolak bergabung. Bebebarapa kali Pemilu yang secara nasional dimenangi Golkar, di Aceh justru kalah, meskipun Jakarta telah menyiapkan anggaran dan strategi khusus menggolkarkan Aceh. Bukannnya Golkar itu buruk, tetapi dalam pandangan rakyat ada partai yang lebih baik – pada waktun itu– dengan simbol-simbol kesakralan semisal ka´bah. Adanya intimidasi dan manipulasi suara tak membuat Golkar nyaman selama lima kali Pemilu. Tetapi setelah reformasi, ketika tidak ada lagi ajakan pilih Golkar justru partai beringin itu bisa bernafas lega di Aceh, tatkala di daerah lain orang mulai meninggalkan Golkar.
Ini aneh, eh Aceh! Untuk mematuhi syariat Islam dan tidak dikejarkan oleh anak-anak muda yang bernama WH, perempuan Aceh tetap menutup -lebih tepat membungkus-kepalanya meskipun majunya berlengan pendek. Untuk maksud yang sama banyak lelaki yang memilih duduk di kafe atau restoran hotel sejak sore hingga magrib dibanding duduk di kafe pinggir jalan. Sebab kafe pinggir jalan -termasuk gerobak burger milik rakyat kecil– tidak dibenarkan beraktifitas sebelum selesai magrib, sementara hotel berbintang milik konglemerat tak berani disentuh oleh WH. Babak- bapak bercelana pendek lebih bebas di jalan seperti halnya anak muda yang main bolakaki ketimbang ibu-ibu yang rambutnya tampak terlihat oleh pegawai WH, meskipun sama-sama membuka aurat. Soalnya lebih mudah menertibkan dan menakut-nakuti perempuan daripada lelaki, karena perempuan hanya makhluk yang dibuat dari tulang rusuk lelaki.
Darussalam artinya negeri sejahtera. Maka pemerintah melalui undang undang mengubah Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dulu ketika Gubernur Ali Hasjmy di pertengahan tahun enampuluhan mencoba menyelasaikan pemberontakan DI/TII, semboyan paling popular ialah dari Darulharb ke Darussalam. Dari negeri yang kacau balau ke negeri damai sejahtera. Kampus Darussalam pun dibangun pada tahun 1959. Tetapi yang namanya Darussalam tidak selalu aman sejahtera. Jerussalem di Tepi Barat yang nama aslinya Darussalam, puluhan tahun terus bergolak tak reda-redanya sampai kini. Meskipun nama adalah doa, namun tak semua dikabulkan Tuhan. Apalagi penambahan nama Darussalam di belakang nama Aceh pada tahun 2002, lebih bersifat politis, karena dikira dengan demikian Aceh segera aman pada waktu itu. Padahal yang dituntut, samasekali bukan itu. Sebuah keputusan dan pikiran Aneh untuk daerah Aneh.
Karena keputusan aneh maka pelaksanaannya pun aneh-aneh. Padahal syariat bukan sekadar melarang pementasan band musik kegemaran remaja-mentas di Aceh, karena seminggu sebelumnya pementasan musik dandut begitu gempita di Blangpadang dalam rangka menyambut dua tahun MoU Helsinki tak ada yang mengusiknya. Kita mencoba melarang perayaan Tahun Baru, tapi mendapat perlawanan publik ketika ribuan orang tetap berkumpul di Blangpadang memeriahkan datangnya tahun 2008.
Pelakasanaan syariat Islam tidak boleh sepotong-sepotong, yang berkisar sekitar razia jilbab. Pelaksanaan syariat Islam harus masuk ke lorong-lorong kehidupan dengan tidak membiarkan terjadinya korupsi. Kita memang aneh karena lebih suka mengintip remaja duduk di tempat wisata sementara sejumlah tempat prostitusi terselubung bebas menjalankan modusnya di Banda Aceh. Kita lebih suka memperlihatkan kesalehan beriringan dengan kesalahan yang kita tutupi. Istilah prokemnya; som salah peuleumah saleh (sembunyikan salah, perlihatkan saleh).
Lama-lama kita memang jadi aneh. Dan itu baru sedikit yang aneh dari yang aneh-aneh lain. Seorang teman berbisik: salah satu yang aneh dan unik di Aceh ialah soal tampuk pemerintahan. Ada yang dari gubernur ke penjara, ada yang dari penjara ke gubernur. Semuanya di Aceh. Abdullah Puteh dari gubernur ke penjara, sedangkanIrwandi Yusuf duluan di penjara lalu jadi ke gubernur. Dan di tangan Irwandi -bersama wakilnya Muhammad Nazar- harapan empat juga rakyat bergantungan, agar kalau pun Aceh cenderung dibaca Aneh, maka yang aneh-aneh itu bersifat positif dan produktif, bukan sebaliknya. Sebab: Orang Aceh aneh sekali, ikat kaki naik kelapa. Inilah Nanggroe Aceh Darussalam, yang dalam UU nomor 11 tahun 2006 takkan lagi bernama demikian.
Sumber: Serambi Indonesia.
No comments:
Post a Comment